Suara Perlawanan dari Kotak Kosong
Bismillah, Jawa Pos Opini Selasa, 13 Agustus 2024 https://www.jawapos.com/opini/014970390/suara-perlawanan-dari-kotak-kosong Suara Perlawanan dari Kotak Kosong Fenomena kotak kosong dalam pemilihan umum di Indonesia, yang mendapatkan perhatian signifikan di media digital, mengungkapkan banyak hal tentang dinamika politik dan partisipasi publik di era digital. Sentimen negatif yang dominan, terutama rasa jijik, mencerminkan ketidakpuasan publik yang mendalam terhadap proses pemilihan yang dianggap tidak demokratis. Namun, ini juga menunjukkan adanya ruang untuk reformasi dan partisipasi yang lebih inklusif. Perspektif Michel Foucault memungkinkan kita melihat kotak kosong sebagai simbol resistensi terhadap kekuasaan politik yang ada, yang didorong oleh interaksi di media sosial. Dengan demikian, kotak kosong menjadi bagian dari perjuangan yang lebih besar antara kekuasaan dan resistensi dalam masyarakat. Fenomena kotak kosong, pada akhirnya, bukan hanya tentang pilihan di surat suara, tetapi juga tentang dinamika politik yang lebih besar di mana media digital menjadi arena baru bagi demokrasi di Indonesia, menggarisbawahi pentingnya kompetisi yang sehat sebagai salah satu elemen vital dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mewakili aspirasi rakyat. Barakallah aamiin 🙏 View this post on Instagram A post shared by Irwan Dwi Arianto (@irwan_dwi_arianto)
Protected: Hoax Pilkada
There is no excerpt because this is a protected post.
Protected: Gimmick Politik
There is no excerpt because this is a protected post.
Mendengar Media Digital: Perbincangan Skripsi dan Tugas Akhir
Mendengar media digital merupakan perspektif baru dalam pemberitaan melalui pemantauan, analisis, dan interpretasi dari dinamika percakapan yang terjadi di berbagai platform media digital. Melalui hal ini pembaca dapat lebih memahami trend, isu, dan sentimen yang berkembang di masyarakat digital serta memperoleh insight (wawasan) berbasis big data.
Memahami Tantangan yang Dihadapi oleh Gen Z dan Gen Alpha: Perspektif Epistemik
Persoalan antara Generasi Z (Gen Z) dan Generasi Alpha dengan orang tua atau masyarakat mencerminkan tren global. Konsep episteme dari Michel Foucault dapat digunakan untuk mengeksplorasi tantangan ini dalam membantu kita memahami bagaimana struktur pengetahuan dominan membentuk persepsi dan interaksi dengan generasi ini. Riset terkini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi digital dan media sosial memainkan peran penting dalam membentuk pengalaman dan perilaku generasi ini. Teknologi tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi juga mempengaruhi cara mereka berkomunikasi, belajar, dan membangun hubungan sosial (Britopian, 2024). Studi menunjukkan bahwa ketergantungan pada perangkat digital dapat menghambat perkembangan sosial dan emosional anak-anak Gen Alpha. Mereka sering kali lebih nyaman dengan interaksi virtual daripada interaksi langsung, yang dapat menyebabkan masalah perilaku dan kurangnya keterampilan sosial. Penelitian dari Britopian mengungkapkan bahwa sekitar 60% partisipan di Amerika mengalami masa kecil yang kurang bahagia, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka di masa depan. Hal ini menunjukkan bagaimana lingkungan digital mempengaruhi perkembangan anak-anak di era modern (Britopian, 2024). Selain itu, perbedaan nilai dan harapan antara Gen Z dan Gen Alpha dengan generasi sebelumnya yang menjadi orang tua semakin menonjol. Gen Z dan Gen Alpha memiliki harapan tinggi terhadap tanggung jawab sosial dari organisasi dan merek yang mereka dukung. Mereka lebih sadar akan isu-isu lingkungan dan sosial, serta menuntut otentisitas dan tindakan nyata dari pihak-pihak terkait. Menurut penelitian, kesadaran sosial ini dipengaruhi oleh paparan informasi yang lebih luas melalui media digital, yang membentuk nilai-nilai dan harapan mereka (McKinsey & Company, 2024). Di Amerika banyak Gen Z dan Gen Alpha yang aktif dalam gerakan sosial seperti Black Lives Matter dan Fridays for Future. Mereka tidak hanya ikut serta dalam protes dan kampanye, tetapi juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu tersebut. Organisasi dan merek yang tidak menunjukkan komitmen nyata terhadap keberlanjutan atau keadilan sosial sering kali mendapatkan kritik dan boikot dari generasi ini. Misalnya, perusahaan fashion yang tidak transparan tentang rantai pasokan mereka dan kondisi kerja di pabrik-pabrik mereka menghadapi reaksi negatif dari konsumen muda yang lebih memperhatikan etika dan tanggung jawab sosial. Kesadaran sosial yang tinggi di kalangan Gen Z dan Gen Alpha juga tercermin dalam pilihan karir mereka. Banyak dari mereka yang memilih bekerja di organisasi yang memiliki misi sosial atau lingkungan yang kuat. Mereka cenderung mencari pekerjaan di sektor non-profit, perusahaan B-Corp, atau startup yang fokus pada inovasi berkelanjutan. Ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai yang dipengaruhi oleh paparan informasi digital tidak hanya mempengaruhi preferensi konsumen, tetapi juga aspirasi profesional dan pilihan hidup mereka secara keseluruhan. Generasi ini menuntut lebih dari sekadar produk dan layanan; mereka mencari perubahan sistemik dan keberlanjutan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Tantangan dalam pengasuhan juga menjadi sorotan dalam riset terkini. Orang tua milenial sering dikritik karena memberikan terlalu banyak waktu layar kepada anak-anak mereka, yang dapat mengakibatkan kurangnya disiplin dan kemampuan anak-anak untuk mengatur emosi mereka sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan yang berlebihan pada teknologi dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional anak-anak. Penting bagi orang tua untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara penggunaan teknologi dan interaksi langsung untuk mendukung perkembangan sosial dan emosional anak-anak mereka (Massachusetts Daily Collegian, 2024). Tercatat banyak anak-anak yang terbiasa menghabiskan berjam-jam di depan layar untuk bermain game atau menonton video, sering kali menunjukkan tanda-tanda kecanduan. Mereka mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari tanpa teknologi dan menjadi mudah marah atau cemas ketika perangkat mereka diambil. Penelitian dari Massachusetts Daily Collegian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki batasan waktu layar yang ketat cenderung memiliki keterampilan sosial yang lebih baik dan lebih mampu mengelola stres dibandingkan dengan mereka yang tidak. Hal ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara waktu layar dan aktivitas non-digital sangat penting. Selain itu, pengasuhan yang terlalu bergantung pada teknologi dapat mengurangi kesempatan anak-anak untuk berinteraksi dengan orang lain dan mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal. Misalnya, anak-anak yang lebih sering bermain game online daripada bermain di luar dengan teman-teman mereka kurang mampu memahami isyarat sosial dan membangun hubungan yang kuat. Penting bagi orang tua untuk mendorong anak-anak mereka untuk terlibat dalam aktivitas fisik dan sosial, seperti bermain di taman, mengikuti klub olahraga, atau sekadar menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga tanpa gangguan teknologi. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang aktif secara sosial dan fisik cenderung lebih bahagia dan lebih sehat secara emosional. Kesehatan mental juga menjadi perhatian utama bagi Gen Z dan Gen Alpha. Penggunaan media sosial yang berlebihan dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Studi dari Annie E. Casey Foundation (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 40% orang dewasa muda Gen Z melaporkan perasaan cemas atau depresi yang persisten. Penelitian ini menyoroti pentingnya meningkatkan kesadaran tentang risiko kesehatan mental dan cara mengelolanya di era digital, serta perlunya dukungan dari keluarga, sekolah, dan komunitas untuk membantu generasi muda mengatasi tantangan ini (Annie E. Casey Foundation, 2022). Gen Alpha, yang lahir dari 2010 hingga 2024, sering disebut “iPad kids” karena waktu signifikan yang dihabiskan di depan layar. Ketergantungan ini menciptakan tantangan dalam interaksi sosial dan perkembangan emosional mereka, karena mereka lebih nyaman dengan interaksi digital daripada tatap muka. Fenomena ini dapat dipahami melalui episteme era digital, di mana teknologi menjadi pusat kehidupan sehari-hari dan mengubah cara kita berinteraksi (Foucault, 1970; Britopian, 2024; Massachusetts Daily Collegian, 2024). Baik Gen Z maupun Gen Alpha memiliki harapan tinggi terhadap tanggung jawab sosial dari organisasi dan merek yang mereka dukung. Mereka lebih sadar akan isu-isu lingkungan dan sosial, dan menuntut otentisitas serta tindakan nyata dari entitas tersebut. Episteme modern menekankan pentingnya kesadaran sosial dan keberlanjutan, yang membentuk nilai dan harapan generasi muda ini (Britopian, 2024). Anak-anak Gen Alpha tumbuh dalam dunia yang sepenuhnya digital, dengan pengalaman belajar yang interaktif dan on-demand. Mereka menggunakan media sosial dan pesan instan sebagai alat komunikasi utama. Ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih mengandalkan komunikasi langsung atau metode pembelajaran tradisional. Episteme digital mengubah cara kita berkomunikasi dan belajar, menciptakan kesenjangan antara generasi muda dan orang tua mereka (Foucault, 1980; Britopian, 2024; McKinsey & Company, 2024). Orang tua (milenial maupm boomers) sering dikritik karena memberikan terlalu banyak waktu layar kepada anak-anak mereka. Pengasuhan yang berlebihan pada teknologi dapat menyebabkan kurangnya disiplin dan kemampuan anak-anak untuk mengatur emosi mereka
Election Stress Disorder pada Gen Z: Menjelang Pilkada Serentak Akhir November 2024
Menjelang Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada akhir November 2024, fenomena “Election Stress Disorder” (ESD) menjadi semakin relevan. Generasi Z (Gen Z), yang merupakan kelompok usia yang tumbuh dengan digitalisasi dan media sosial, sangat rentan terhadap stres terkait pemilu. Menurut American Psychological Association (APA), 68% orang dewasa Gen Z melaporkan bahwa pemilu presiden AS 2020 menjadi sumber stres yang signifikan dalam hidup mereka (APA, 2020). Stres ini dapat memanifestasikan secara fisik melalui gejala seperti sakit kepala, masalah pencernaan, dan gangguan tidur, serta secara emosional melalui iritabilitas dan perasaan kewalahan (Mayo Clinic, 2020). Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat tetapi juga di berbagai negara lain yang mengalami pemilu besar. Dalam konteks Indonesia, hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat Pilkada serentak yang akan datang. Penelitian dari Cambridge Core menyoroti bahwa stres terkait pemilu dapat menyebabkan gejala mirip PTSD. Individu mungkin mengalami pikiran intrusif, mimpi buruk, dan kecemasan yang meningkat, yang dapat mempengaruhi fungsi sehari-hari dan kesejahteraan secara keseluruhan (Cambridge Core, 2020). Gen Z menunjukkan tingkat stres tertinggi di antara semua kelompok usia, sebagian karena posisi unik mereka yang tumbuh dengan konektivitas digital yang konstan dan tekanan media sosial. Kesehatan mental mereka lebih dipengaruhi oleh iklim politik daripada generasi yang lebih tua (APA, 2020). Kondisi ini diperparah dengan situasi politik yang sering kali tidak stabil dan penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan strategi manajemen stres yang efektif untuk kelompok ini. Platform media sosial memainkan peran besar dalam meningkatkan stres pemilu pada Gen Z. Media sosial menyediakan ruang untuk keterlibatan politik dan aktivisme, namun juga memperburuk tingkat stres dengan membanjiri pengguna dengan pembaruan terus-menerus dan konten yang terpolarisasi (Gen Z Identity Lab, 2020). TikTok, Instagram, dan Twitter menjadi platform utama di mana Gen Z terlibat dalam diskusi politik. Meskipun platform ini memberikan kesempatan untuk berdialog dan mendapatkan informasi, mereka juga menjadi sumber utama kecemasan. Informasi yang sering kali tidak diverifikasi dan komentar yang penuh dengan emosi dapat memperburuk kondisi mental pengguna. Pentingnya data media sosial dalam memahami dan menyelesaikan masalah ESD pada Gen Z tidak dapat diabaikan. Data dari media sosial memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi pola kecemasan, reaksi terhadap berita politik, dan dampak psikologis dari informasi yang dikonsumsi secara online. Analisis komunikasi big data dari media sosial dapat memberikan wawasan tentang bagaimana informasi politik menyebar dan mempengaruhi psikologi pengguna. Selain itu, data ini dapat digunakan untuk mengembangkan strategi intervensi yang lebih tepat sasaran. Misalnya, kampanye pendidikan publik yang dirancang untuk mengurangi kecemasan terkait pemilu dapat lebih efektif jika didasarkan pada analisis data media sosial. Calon bupati atau walikota yang berkontestasi dalam Pilkada serentak 2024 dapat menggunakan wawasan dari data media sosial untuk menyarankan pendukungnya mengelola konsumsi media secara bijak. Memberikan informasi yang jelas dan menenangkan juga penting guna mengurangi kecemasan publik. Menurut para ahli, membatasi konsumsi berita, terlibat dalam aktivitas yang menenangkan, dan fokus pada tindakan yang dapat dikendalikan seperti memberikan suara adalah beberapa strategi yang dapat membantu mengelola stres pemilu (APA, 2020). Kampanye yang mendorong pendekatan ini dapat membantu mengurangi tekanan mental yang dirasakan oleh Gen Z. Selain itu, penting untuk mengedukasi Gen Z tentang cara-cara yang sehat untuk mengonsumsi berita politik. Misalnya, menghindari paparan berlebihan terhadap berita negatif dan mencari sumber informasi yang dapat dipercaya dapat membantu mengurangi stres. Program edukasi yang mengajarkan keterampilan manajemen stres juga dapat sangat bermanfaat. Dalam jangka panjang, upaya ini dapat membantu membangun ketahanan mental yang lebih baik di kalangan Gen Z. ASIGTA memainkan peran penting dalam menyediakan analisis komunikasi big data dari media digital, baik media sosial maupun non-media sosial. Dengan menggunakan data dan analisis yang disediakan oleh ASIGTA, kita dapat mengembangkan strategi komunikasi yang tepat untuk menghadapi berbagai tantangan, termasuk ESD pada Gen Z. ASIGTA membantu mengidentifikasi tren, pola, dan dampak dari informasi politik yang tersebar di media digital, sehingga memungkinkan pembuatan keputusan yang lebih baik dan berbasis data. Penelitian dan wawasan yang dihasilkan oleh ASIGTA sangat berharga dalam merancang kampanye komunikasi yang efektif dan tepat sasaran. Dampak stres pemilu pada Gen Z sangat mendalam dan memiliki implikasi signifikan bagi kesehatan mental mereka. Menyadari dinamika ini dan berusaha untuk memberikan informasi yang jelas dan menenangkan adalah langkah yang sangat penting. Pemahaman dan penanganan yang tepat terhadap ESD dapat membantu menciptakan lingkungan politik yang lebih sehat dan stabil. Referensi Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom.(Founder ASIGTA)
Tantangan Kesehatan Mental Gen Z dan Gen Alpha (Media Sosial dan Non Media Sosial)
Masalah yang timbul antara generasi Gen Z (lahir antara 1997-2012) dan Gen Alpha (lahir setelah 2012) dengan orang tua mereka (generasi Baby Boomers, Gen X, atau bahkan Gen Y) dan cenderung susah terselesaikan. Hal-hal tersebut seringkali tidak disadari oleh masing-masing generasi karena perbedaan yang mereka alami, yang mencakup bagaimana mereka dibesarkan, tantangan yang dihadapi, dan perkembangan teknologi yang mempengaruhi cara mereka berinteraksi dan memandang dunia. Berikut adalah beberapa poin utama berdasarkan penelitian terbaru dan artikel yang relevan: 1. Perbedaan Nilai dan Norma Generasi Gen Z dan Gen Alpha tumbuh dalam lingkungan digital yang berbeda dari orang tua mereka. Mereka cenderung menghargai fleksibilitas, relevansi, otentisitas, dan kepemimpinan non-hierarkis. Mereka juga lebih menghargai keragaman dan komunitas yang inklusif dibandingkan generasi sebelumnya. Sebaliknya, orang tua mereka, baik dari generasi Baby Boomers, Gen X, maupun Gen Y, mungkin lebih menghargai stabilitas dan norma-norma tradisional yang lebih hierarkis. 2. Tantangan Teknologi Gen Z dan Gen Alpha sangat terbiasa dengan teknologi dan media sosial, yang sering kali menjadi sumber utama informasi dan komunikasi mereka. Namun, penggunaan media sosial yang tinggi dikaitkan dengan dampak negatif terhadap kesehatan mental mereka. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menurunkan kesejahteraan psikologis dan meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Sementara itu, orang tua mereka mungkin kurang memahami dampak ini dan tidak memiliki alat yang sama untuk menangani masalah yang muncul dari penggunaan teknologi ini, belum lagi tantangan algoritma dan AI di media sosial. 3. Kesehatan Mental Gen Z lebih terbuka terhadap isu-isu kesehatan mental dan lebih mungkin untuk mencari bantuan profesional. Namun, mereka juga menghadapi hambatan seperti biaya yang tinggi dan stigma terkait masalah kesehatan mental, terutama di komunitas tertentu. Banyak dari mereka merasa kurang didukung oleh orang tua mereka dalam hal ini sehingga mereka seringkali “berkonsultasi” dengan media sosial. Dalam hal ini, orang tua sering kali tidak memahami atau meremehkan dampak kesehatan mental dari tekanan sosial dan akademik yang dialami oleh anak-anak mereka. 4. Tanggung Jawab Ganda Gen Z sering kali berada dalam posisi yang disebut sebagai “generasi sandwich,” di mana mereka harus mengurus orang tua mereka yang menua sambil juga berusaha untuk mandiri secara finansial. Hal ini menciptakan tekanan tambahan yang dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional mereka. 5. Pandangan tentang Work-Life Balance Generasi Gen Z cenderung lebih menghargai keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka mencari pekerjaan yang memberikan makna dan kepuasan pribadi, yang sering kali dianggap tidak realistis oleh orang tua mereka. Ini menciptakan konflik ketika orang tua mengharapkan anak-anak mereka mengikuti jalur karir yang lebih tradisional dan “stabil”. Persoalan yang seringkali dikaitkan dengan Gen Z Gangguan kecemasan (Anxiety Disorders) merupakan masalah umum yang dihadapi oleh banyak anggota Gen Z. Tekanan akademis yang tinggi, tuntutan sosial, dan penggunaan media sosial yang intensif sering kali menjadi pemicu utama kecemasan berlebihan pada generasi ini. Ketidakpastian tentang masa depan serta tekanan untuk mencapai kesuksesan menambah beban pikiran mereka, yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan tidur dan kesulitan dalam berkonsentrasi. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang memperburuk kesejahteraan mental mereka. Depresi merupakan gangguan yang umum di kalangan remaja dan dewasa muda, dengan banyak dari mereka melaporkan perasaan sedih yang berkepanjangan, kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari, dan perasaan putus asa. Faktor isolasi sosial dan tekanan akademis sering kali memperparah kondisi depresi ini, membuat mereka merasa semakin terjebak dalam kesulitan mereka. Depresi tidak hanya mempengaruhi suasana hati tetapi juga berdampak negatif pada produktivitas dan hubungan sosial mereka. Upaya pencegahan dan penanganan yang efektif sangat penting untuk membantu mereka mengatasi tantangan ini. Gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia menjadi semakin umum di kalangan Gen Z, dipicu oleh standar kecantikan yang tidak realistis yang dipromosikan melalui media sosial. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi tubuh yang sempurna dapat menyebabkan perilaku makan yang tidak sehat dan berbahaya. Selain itu, paparan konten media sosial yang terus-menerus memperkuat citra tubuh ideal sering kali mengakibatkan perasaan tidak puas dengan penampilan diri sendiri. Akibatnya, banyak anggota Gen Z yang terjebak dalam siklus diet ketat dan perilaku kompulsif yang merugikan kesehatan fisik dan mental mereka. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ditandai dengan kesulitan dalam mempertahankan fokus dan pengendalian impuls. Teknologi dan media sosial yang terus-menerus menawarkan distraksi memperburuk kondisi ini, membuat belajar dan bekerja menjadi lebih sulit bagi banyak anggota Gen Z. Mereka sering kali merasa kewalahan oleh rangsangan yang berlebihan, yang mengakibatkan penurunan produktivitas dan kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas. Dampak dari ADHD pada kehidupan sehari-hari dapat signifikan, mempengaruhi kinerja akademis dan profesional, serta hubungan interpersonal. Ketergantungan pada media sosial dapat menyebabkan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi di kalangan Gen Z. Generasi ini sering merasa perlu untuk selalu terhubung, yang mengakibatkan gangguan tidur dan interaksi sosial yang kurang sehat di dunia nyata. Waktu yang dihabiskan untuk media sosial juga dapat mengurangi waktu untuk aktivitas produktif dan rekreasi, memperburuk kesejahteraan mental mereka. Selain itu, paparan konten yang tidak realistis dan tekanan untuk selalu tampil sempurna menambah beban psikologis, menciptakan lingkaran setan yang sulit diatasi. Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah kondisi di mana banyak anggota Gen Z mengalami ketidakpuasan tubuh yang serius akibat ekspektasi kecantikan yang dipengaruhi oleh media sosial. Mereka sering terobsesi dengan kekurangan fisik kecil yang mungkin tidak nyata bagi orang lain, menyebabkan stres dan kecemasan yang signifikan. Obsesi ini bisa mengakibatkan perilaku kompulsif seperti sering bercermin atau mencari prosedur kosmetik. Ketidakpuasan tubuh yang berlebihan ini tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan mental mereka tetapi juga bisa mengganggu kehidupan sosial dan profesional mereka. Gangguan penyalahgunaan zat (Substance Use Disorders) semakin meningkat di kalangan Gen Z sebagai mekanisme coping terhadap stres dan tekanan sosial. Banyak anggota generasi ini menggunakan alkohol, narkoba, dan zat lainnya untuk melarikan diri dari realitas yang menekan, yang sering kali berakhir dengan ketergantungan. Tekanan akademis, ekspektasi sosial, dan paparan konstan terhadap media sosial turut berkontribusi pada meningkatnya risiko penyalahgunaan zat. Ketergantungan ini tidak hanya merusak kesehatan fisik dan mental, tetapi juga dapat mengganggu hubungan interpersonal dan kinerja akademis atau profesional mereka. Gangguan tidur seperti insomnia menjadi umum di kalangan Gen Z karena penggunaan perangkat elektronik yang berlebihan sebelum tidur. Cahaya biru dari layar mengganggu pola tidur alami, menyebabkan kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur.
Viva Cosmetics dan kompetitor dalam Instagram digital activism
Media sosial telah menjadi platform utama bagi merek untuk membangun positioning dan reputasi digital mereka. Instagram, sebagai salah satu platform media sosial yang paling populer, menawarkan peluang besar bagi merek untuk berinteraksi dengan audiens mereka, membangun komunitas, dan mempromosikan produk mereka. Viva Cosmetics, salah satu merek kecantikan ternama di Indonesia, telah memanfaatkan Instagram untuk membangun kehadirannya secara digital melalui akun @viva.cosmetics. Selain Viva Cosmetics, terdapat beberapa kompetitor utama seperti Wardah, Rollover Reaction, BLP Beauty, Mineral Botanica, ESQA Cosmetics, Mustika Ratu, dan Purbasari yang juga aktif di Instagram. Temuan awal Viva Cosmetics memiliki interaksi yang cukup kuat dan luas di Instagram Interaksi Jaringan: Jumlah Total Vertices: 14.229Jumlah Unique Edges: 13.865Jumlah Total Edges: 29.979Hubungan utama terdiri dari komentar, penyebutan dalam komentar, dan tag di postingan, dengan komentar sebagai jenis hubungan yang paling dominan. Kluster dan Struktur Jaringan: Jaringan ini dikelompokkan menjadi beberapa kluster menggunakan algoritma Clauset-Newman-Moore, yang membantu mengidentifikasi komunitas dan pola interaksi utama.Kluster terbesar mencakup 14.228 vertices dengan 29.977 edges. Kata-Kata Teratas dalam Unggahan: Kata-kata yang sering muncul dalam unggahan Viva Cosmetics termasuk “aku”, “banget”, “produk”, “kulit”, dan “cantik”. Kata-kata ini mencerminkan tema umum seperti interaksi personal, rekomendasi produk, dan sentimen positif terhadap produk. Analisis Awal Kompetitor Untuk memahami bagaimana Viva Cosmetics dibandingkan dengan kompetitornya, analisis juga dilakukan terhadap akun-akun Instagram dari Wardah, Rollover Reaction, BLP Beauty, Mineral Botanica, ESQA Cosmetics, Mustika Ratu, dan Purbasari. Berikut adalah temuan kunci: Wardah (@wardahbeauty): Rollover Reaction (@rollover.reaction): BLP Beauty (@blpbeauty): Mineral Botanica (@mineralbotanica): ESQA Cosmetics (@esqacosmetics): Mustika Ratu (@mustikaratuind): Purbasari (@purbasari_indonesia): Insight ini menggambarkan bagaimana Viva Cosmetics dan kompetitornya membangun positioning dan reputasi digital melalui strategi komunikasi yang efektif di Instagram. Insight ini dapat menjadi pemicu penelitian lebih lanjut untuk mendalami analisis isi kualitatif, memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang strategi komunikasi dan dampaknya terhadap reputasi digital merek-merek kecantikan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi praktisi komunikasi dan pemasaran digital dalam membangun dan mempertahankan reputasi merek di media sosial. ASIGTA (Analisis Komunikasi Big Data) dapat membantu merek kecantikan seperti Viva Cosmetics, Wardah, Rollover Reaction, BLP Beauty, Mineral Botanica, ESQA Cosmetics, Mustika Ratu, dan Purbasari untuk memiliki keunggulan dalam strategi komunikasi dan digital activism di media sosial,. Melalui analisis data mendalam diperoleh insight terperinci tentang bagaimana setiap merek membangun positioning dan reputasi digital mereka. Misalnya, kami menemukan bahwa Viva Cosmetics memiliki tingkat interaksi yang tinggi dan berhasil membangun hubungan emosional yang kuat dengan audiensnya. Temuan ini menunjukkan pentingnya strategi komunikasi yang tepat dan berbasis data untuk meningkatkan keterlibatan dan visibilitas merek. Namun, analisis juga menunjukkan bahwa Viva Cosmetics masih kurang optimal dalam memanfaatkan kolaborasi dengan influencer dan kampanye berbasis komunitas, yang dapat meningkatkan jangkauan dan pengaruh merek secara signifikan. Melalui ASIGTA dapat memberikan nilai tambah yang signifikan bagi merek kecantikan dalam membangun dan mempertahankan reputasi digital yang kuat. Solusi lengkap sangat dibutuhkan, mulai dari analisis data mendalam, pengembangan strategi berbasis data, hingga pelaksanaan kampanye yang disesuaikan dengan audiens target. Dengan pendekatan holistik ini, merek tidak hanya meningkatkan keterlibatan dan interaksi di media sosial, tetapi juga memonitor dan mengevaluasi efektivitas strategi yang diterapkan secara berkelanjutan. Menggunakan Teori Identitas Sosial, kita dapat memahami bagaimana Viva Cosmetics dan kompetitornya berhasil tidaknya dalam membangun komunitas yang kuat dan mendorong aktivisme digital di Instagram. Merek-merek ini harusnya tidak hanya menjual produk, tetapi juga menciptakan identitas sosial yang dapat diadopsi oleh pengikut mereka. Proses kategorisasi, identifikasi, dan perbandingan sosial membantu menjelaskan bagaimana nantinya pengikut merasa terhubung dengan merek dan termotivasi untuk mendukung kampanye aktivisme digital mereka. Dengan demikian, melalui strategi komunikasi yang efektif dan berbasis komunitas, Viva Cosmetics dan kompetitornya mampu membentuk positioning dan reputasi digital yang kuat, yang pada akhirnya memperkuat loyalitas dan keterlibatan konsumen di platform media sosial. Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom. (Founder ASIGTA)
Aktivisme Digital Instagram dan YouTube Video Network PT Sinergi Gula Nusantara: Temuan dan Insight ASIGTA
Instagram Digital Activism Dalam era digital saat ini, aktivitas dan interaksi di media sosial telah menjadi indikator penting bagi keberhasilan strategi komunikasi sebuah perusahaan. PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), sebagai salah satu entitas utama dalam industri gula di Indonesia, tidak terkecuali. Melalui akun Instagram mereka dan beberapa pabrik gula di bawah pengelolaannya (contoh kali ini adalah bersumber dengan pabrik-pabrik gula eks PTPN X seperti PG Kremboong, PG Gempolkrep, PG Djombang Baru, PG Tjoekir, PG Lestari, PG Meritjan, PG Pesantren Baru, PG Ngadiredjo, dan PG Modjopanggoong), SGN telah menunjukkan kehadiran digital yang signifikan. Namun, seberapa efektifkah strategi komunikasi digital mereka? Inilah yang kami coba ungkap melalui analisis komunikasi big data (ASIGTA). Hasil analisis menunjukkan bahwa jaringan ini mencakup 1082 akun Instagram dengan 4332 hubungan, yang meliputi komentar, sebutan dalam komentar, sebutan dalam postingan, dan tag dalam postingan. Jaringan ini memiliki 5 komponen terhubung, dengan komponen terbesar terdiri dari 1064 akun dan 4304 hubungan. Diameter jaringan adalah 7 dengan rata-rata jarak geodesik 3,49, menunjukkan tingkat interaksi yang cukup tinggi di antara pengguna. Kami juga menemukan bahwa melalui algoritma Clauset-Newman-Moore berhasil mengidentifikasi beberapa kluster dalam jaringan, yang menunjukkan adanya komunitas-komunitas kecil yang berinteraksi secara intens. Hubungan utama dalam jaringan adalah komentar, sebutan dalam komentar, dan sebutan dalam postingan. Ini menunjukkan bahwa pengguna Instagram SGN sangat terlibat dalam percakapan dan interaksi di sekitar konten yang diposting. Analisis kata kunci dan frasa utama menunjukkan kata yang sering sering muncul dalam status, yang menunjukkan fokus utama dari percakapan terkait industri gula dan kampanye pemasaran perusahaan. Frasa seperti “tangguh tumbuh”, “tumbuh juara”, dan “sobat manis” menunjukkan upaya untuk membangun identitas merek dan keterlibatan komunitas namun juga dijumpai frasa yang kurang tepat dalam meningkatkan keterlibatan komunitas. Melalui temuan ini, beberapa insight dan rekomendasi strategi komunikasi dapat diberikan. Pertama, meningkatkan keterlibatan komunitas sangat penting. Interaksi dalam jaringan menunjukkan ketertarikan tinggi pada konten yang terkait dengan temuan narasi. Oleh karena itu, SGN dapat mengadakan kampanye interaktif khusus untuk memudahkan pelacakan dan analisis (monitoring keberhasilan). Kedua, menjadi penting untuk penguatan identitas merek dengan frasa yang relevan yang sesuai dengan digital activism stakeholdernya. Ketiga, konten edukasi yang tepat sangat dibutuhkan dan hal tersebut belum tampak sehingga bisa terlihat dari visualisasinya. Dalam dunia yang semakin terhubung, memahami bagaimana interaksi dan percakapan berlangsung di platform digital seperti Instagram adalah kunci untuk merancang strategi komunikasi yang efektif. Dengan analisis mendalam dari ASIGTA, PT Sinergi Gula Nusantara dapat memperoleh wawasan berharga tentang dinamika komunikasi mereka, mengidentifikasi influencer kunci, dan mengoptimalkan kampanye pemasaran mereka untuk hasil yang lebih baik berdasarkan metode riset big data. Dengan wawasan yang diperoleh dari analisis ini, PT Sinergi Gula Nusantara sebenarnya memiliki peluang besar untuk memperkuat kehadiran digital mereka. Melalui pendekatan berbasis data dan strategi yang disesuaikan dengan prinsip Marketing 5.0, SGN dapat meningkatkan keterlibatan komunitas, memperkuat identitas merek, dan mencapai tujuan bisnis mereka dengan lebih efektif. YouTube Video Network Setelah mengeksplorasi aktivitas digital PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) di Instagram, kami melanjutkan dengan analisis jaringan video YouTube mereka. Periode yang kami analisis mencakup dari 1 Januari 2024 hingga 20 Juli 2024, menggunakan metode analisis komunikasi big data (ASIGTA). Temuan kami mengungkap berbagai wawasan penting tentang bagaimana video-video SGN berinteraksi dengan audiens mereka di platform YouTube. Jaringan ini terdiri dari 445 akun YouTube yang terlibat dalam berbagai interaksi seputar video-video SGN. Terdapat total 239 hubungan yang mencakup komentar, likes, dan mentions. Namun, analisis lebih dalam menunjukkan bahwa jaringan ini tidak sepenuhnya terhubung, baik secara kuat maupun lemah. Dengan kata lain, setiap akun cenderung berdiri sendiri tanpa banyak interaksi yang menghubungkan mereka satu sama lain. Dalam hal keterhubungan kuat (strongly connected), jaringan ini terdiri dari 445 komponen, yang berarti setiap akun tidak memiliki hubungan timbal balik yang kuat dengan akun lain. Keterhubungan lemah (weakly connected) juga menunjukkan hasil serupa, dengan 445 komponen terhubung lemah. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kelompok besar dalam jaringan yang saling terhubung secara signifikan. Rata-rata in-degree dan out-degree dari jaringan ini relatif rendah, menunjukkan bahwa setiap akun hanya memiliki sedikit interaksi masuk dan keluar. Kepadatan jaringan juga sangat rendah, yaitu 0,0012, yang berarti hubungan antar akun dalam jaringan ini sangat jarang terjadi. Temuan ini menunjukkan bahwa video-video tentang SGN di YouTube belum berhasil menciptakan komunitas yang saling berinteraksi. Untuk mengatasi hal ini, SGN perlu mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam membangun keterhubungan dan komunitas di platform ini. Analisis jaringan video YouTube dan aktivitas digital Instagram PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) menunjukkan bahwa meskipun ada partisipasi yang cukup luas, keterhubungan antara akun-akun di kedua platform ini masih sangat rendah. Mengacu pada perspektif Michel Foucault, kontrol terhadap wacana sangat penting untuk menghindari manipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Narasi CSR SGN harus diposisikan sebagai kontribusi positif dan memberdayakan, bukan sebagai kompensasi. Perspektif Manuel Castells menekankan pentingnya jaringan dalam membentuk kekuasaan dan komunikasi di era digital. Temuan ini menunjukkan bahwa SGN perlu meningkatkan upaya untuk membangun komunitas yang lebih terhubung dan berinteraksi baik melalui Instagram maupun YouTube serta media digital lainnya (media sosial dan non media sosial lainnya). Dr. Irwan Dwi Arianto, M.I.Kom. (Founder ASIGTA)
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Belajar Mengukur Digital Activism di Matakuliah Komunikasi Digital
Surabaya, 30 Mei 2024 – Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur mendapatkan pengalaman belajar yang mendalam dalam matakuliah Komunikasi Digital yang diajarkan oleh Dr. Irwan Dwi Arianto. Matakuliah yang ditujukan untuk mahasiswa semester 2 ini tidak hanya menawarkan teori-teori mendasar tentang komunikasi digital, tetapi juga memfasilitasi praktek langsung mengukur digital activism melalui berbagai platform media sosial seperti Instagram, Twitter, TikTok, YouTube, Facebook, juga media digital lainnya. Mengukur Digital Activism di Media Sosial Dalam matakuliah ini, mahasiswa dilatih untuk mengukur efektivitas digital activism yang mereka lakukan. Dengan memahami metrik digital seperti jumlah pengikut, likes, komentar, dan shares, mahasiswa dapat mengevaluasi sejauh mana kampanye mereka berhasil menarik perhatian dan membangun keterlibatan dengan audiens. perkuliahan yang sangat seru yang diampu oleh bapak @irwan_dwi_a membaca digital activism ❤️ #komdigupnvjt #upnvjt pic.twitter.com/bYS1nqFiNV — sebuahharapanorangtua (@sultothebone) May 29, 2024 Studi Kasus Kontestasi Digital Aqua dan Le Minerale Sebagai bagian dari materi yang diajarkan dalam matakuliah Komunikasi Digital, mahasiswa mempelajari studi kasus tentang kontestasi digital antara dua brand air minum terkenal, Aqua (@sehataqua) dan Le Minerale (@le_mineraleid). Kontestasi ini dianalisis menggunakan berbagai metrik digital untuk mengidentifikasi keberhasilan masing-masing brand dalam menarik perhatian dan membangun engagement. View this post on Instagram A post shared by Heni (@heni_ry) Dengan memanfaatkan big data dan alat analitik media sosial seperti NodeXL dan ASIGTA, mahasiswa memetakan interaksi di sekitar hashtag #airminum. Analisis ini menunjukkan bahwa baik Aqua maupun Le Minerale belum mendominasi jaringan percakapan digital air minum, yang diilustrasikan oleh keberadaan cluster besar yang tidak dikuasai oleh kedua brand tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa strategi Digital Marketing Communication (DMC) dari kedua brand masih belum memanfaatkan potensi penuh dari medan kontestasi digital. View this post on Instagram A post shared by Irwan Dwi Arianto (@irwan_dwi_arianto) Manfaat Analisis Data Digital Melalui analisis data, mahasiswa belajar untuk menyimpulkan bahwa strategi DMC yang efektif memerlukan pemetaan jaringan dan pengukuran metrik seperti sentimen, jangkauan, dan frekuensi. Pemahaman ini memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi kelemahan dan peluang untuk perbaikan strategi di masa mendatang. Pendidikan Realtime Monitoring dan Etika Komunikasi Selain analisis data, mahasiswa juga diajarkan cara melakukan monitoring brand dan reputasi digital secara realtime, keterampilan yang sangat berguna di dunia kerja. Dr. Irwan Dwi Arianto berharap lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur akan menjadi Sarjana Ilmu Komunikasi yang mampu menjadi Competent Digital Communicologist. Pembelajaran tentang Etika dan Filsafat Komunikasi (digital), dengan tujuan membentuk sarjana komunikasi yang tangguh dan bermoral tinggi. Dengan kombinasi teori, praktek, dan pemahaman etis ini, mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan kemampuan komunikasi digital yang efektif dan efisien, serta siap menghadapi tantangan di dunia profesional. #komdigupnvjt #upnvjt #ilkomupnvjt