Kontestasi digital antara Aqua (@sehataqua) dan Le Minerale (@le_mineraleid) dapat dianalisis dengan menggunakan berbagai metrik digital seperti jumlah followers, likes, comments, dan shares. Melalui pendekatan ini, kita dapat mengidentifikasi sejauh mana kedua brand tersebut berhasil menarik perhatian dan membangun engagement dengan audiens mereka.
Dengan memanfaatkan big data dan alat analitik sosial media (NodeXL, ASIGTA, dll), kita dapat memetakan interaksi di sekitar hashtag #airminum untuk melihat bagaimana kedua brand tersebut tampil dalam percakapan digital. Gambar 2, yang menunjukkan relasi kuasa mereka dalam jaringan air minum, dapat dianalisis lebih lanjut untuk memahami tingkat dominasi masing-masing brand. Dalam hal ini, kita menemukan bahwa baik Aqua maupun Le Minerale tidak mendominasi jaringan air minum, ditunjukkan oleh cluster besar yang tidak terjaring oleh mereka.
Melalui analisis data ini, kita dapat menyimpulkan bahwa strategi Digital Marketing Communication (DMC) mereka belum efektif dalam memanfaatkan potensi penuh dari medan kontestasi digital. Dengan memetakan jaringan dan mengukur metrik seperti sentimen, reach, dan frequency, kita dapat mengidentifikasi kelemahan dan peluang untuk perbaikan strategi ke depan. Hal yang saat ini bisa dipelajari dan dilakukan.
Kita saat ini dapat memahami kontestasi digital antara Aqua (@sehataqua) dan Le Minerale (@le_mineraleid) tidak hanya melihat angka-angka engagement, tetapi juga mengeksplorasi makna dan narasi di balik interaksi tersebut. Digital activism air minum #airminum menjadi medan di mana berbagai identitas, ideologi, dan kekuasaan terlibat dalam proses kontestasi.
Dalam gambar 2, yang menunjukkan relasi kuasa mereka dalam jaringan air minum, kita dapat melihat bahwa dominasi tidak hanya diukur melalui jumlah tetapi juga melalui cara narasi mereka terbentuk dan diterima oleh masyarakat. Cluster-cluster besar yang tidak terjaring oleh mereka mencerminkan bahwa narasi atau citra yang mereka bangun tidak sesuai atau tidak relevan dengan sebagian besar audiens.
Kita dapat mempertanyakan strategi Digital Marketing Communication mereka: Apakah narasi yang mereka gunakan inklusif? Apakah mereka berhasil menggugah identitas dan pengalaman audiens mereka? Bagaimana power dynamics terlibat dalam interaksi digital ini?
Dengan memahami bahwa peta jaringan bukan sekadar representasi statis tetapi arena di mana makna terus-menerus dinegosiasikan, kita dapat melihat bahwa kelemahan strategi DMC mereka bisa jadi terletak pada kurangnya pemahaman akan kompleksitas identitas dan preferensi konsumen.
(bersambung)