Pilpres masih jauh tapi para politikus sudah sibuk pasang baliho dikondisi kesusahan rakyat pada masa pandemi Covid-19. Benarkah bermanfaat atau justru memperburuk. Adakah insight tersendiri …
Kompas.id pada tanggal 14 Agustus 2021 19:33 WIB dalam pemberitaannya mengabarkan bahwa Elektabilitas Tokoh Politik Pemasang Baliho masih berada di Papan Bawah. Mengejutkan dan menarik …… Dianggap buang uang dikala pandemi pada saat masyarkat sedang kesulitan ekonomi sehingga berbuahkan sentimen negatif yang tentu sangat berpengaruh pada elektabilitas mereka.
Apakah memasang baliho di tengah keprihatinan nasional pandemi Covid-19 adalah suatu kesalahan meski dengan narasi pilihan, dengan trick-trick tertentu ? Membaca berita diatas jelas YA. Namun ternyata ada insight tersendiri jika mendalami pembacaan Analisis Komunikasi Big Data pada media sosial terdapat moment yang dapat merubah “kesalahan” menjadi modal luar biasa khususnya dalam peningkatan elektabilitas digital.
Elektabilitas digital adalah tingkat keterpilihan atau ketertarikan publik dalam memilih sesuatu, baik itu seorang figur, lembaga atau partai, maupun barang dan jasa dimana informasi tersebut didapatkan dari hasil pembacaan media digital semisal media sosial.
Saat ini kita hidup di era yang tidak bisa dibaca “sekedarnya” terlebih masih secara konvensional. Tidak dapat dipungkiri sebagaimana dilansir kompas.com bahwa pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun diketahui memiliki beberapa perangkat elektronik berbeda, smartphone menjadi perangkat yang paling populer. Pengguna internet Indonesia (usia 16 hingga 64 tahun) yang memiliki telepon genggam adalah 98,3 persen. Tercatat ada 96,4 persen atau 195,3 juta orang Indonesia yang mengakses di internet melalu ponsel genggamnya. Pengguna internet Indonesia rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk berselancar di internet dan yang paling digemari ialah bermedia sosial. Saat ini, ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial.
Melalui analisis komunikasi big data media sosial kita dapat memperoleh gambaran perubahan dan perkembangan fenomena dari waktu ke waktu.
https://www.facebook.com/irwandwi.arianto/videos/10223858435990924/
Video tersebut diatas adalah gambaran bagaimana kita memetakan dan mempelajari masyarakat melalui media sosial pada pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Blitar tahun 2020.
Membaca netizen Kabupaten Blitar melalui Facebook Group (baru level 1 dan dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan) dalam kategori anggota masyarakat dewasa dengan overlapping masing-masing keanggotaan pada wilayah 22 Kecamatan di Kabupaten Blitar dimana keanggotaannya secara kuantitatif tidak jauh beda dengan DPT Kabupaten Blitar.
Dilakukan pembacaan dan analisis mengingat pembicaraan isu-isu tertentu netizen memiliki korelasi yang signifikan dengan pembicaraan riil di masyarakat. Apa yang dianggap penting dimedia sosial cenderung dianggap penting oleh Masyarakat. Tentunya setelah dilakukan pembersihan data untuk menghilangkan yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
Gambaran yang dapat kita lihat melalui visualisasi Kabupaten Blitar per 22 kecamatan yang pada saat itu kami jalankan secara realtime dari waktu ke waktu sehingga dapat dipantau perkembangannya.
VISUALISASI KABUPATEN BLITAR
(saat pelaksanaan realtime data update)
Visualisasi tersebut dapat di-input baik dari data media sosial ataupun hasil penelaahan di lapangan.
Pilpres baru akan digelar pada 2024 namun menjadi penting jika dilakukan penelaahan sedari awal mengingat perkembangan akselerasi digital di era network society membutuhkan perilaku khusus sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman dalam skala nasional.
Kita secara awal dapat melihat bagaimana komunikasi politik para kandidat sejak awal pada unggahan Tweets dari tahun ke tahun menuju 2024. AHY dari 2018 sampai dengan 2021. Airlangga dari 2014 sampai dengan 2021. Anies dari 2011 sampai dengan 2021. Muhaimin dari 2013 sampai dengan 2021. Fahri Hamzah dari 2010 sampai dengan 2021. Ganjar dari 2010 sampai dengan 2021. Khofifah dari 2011 sampai dengan 2021. Sandiaga Uno dari 2010 sampai dengan 2021, serta berbagai tokoh lainnya.
Wordcloud merupakan sebuah sistem yang memunculkan visualisasi kata-kata dengan memberikan penekanan pada frekuensi kemunculan kata terkait dalam wacana tertulis. Pemakaian wordcloud dalam analisis wacana dapat memudahkan peneliti karena mampu memberikan gambaran mengenai garis besar isi teks dengan cepat. Bagaimana metodologi aplikasi wordcloud dengan memberikan contoh aplikasi melalui analisis tweet tokoh. Analisis dilakukan untuk melihat pandangan politik para tokoh dari waktu ke waktu (yang bisa digeser sesuai dengan kurun waktu tertentu sesuai kebutuhan) dengan mencoba memahami visi dan visualitas mereka melalui visualisasi kata-kata yang muncul dan mendominasi wordcloud. Dikombinasi dengan analisis percakapan atau komentar dan disertai dengan sentimen and reaction dapat memberikan gambaran dari waktu ke waktu (sesuai konteks yang melingkupinya), sesuai dengan kebutuhan pembacaan.
Wordcloud memberikan alternatif metodologi yang praktis dan menarik secara visual dalam membantu peneliti menangani wacana tertulis sebagai data. Membaca bagaimana political brief tokoh yang merujuk pada ciri kebijakannya, bagaimana penekanan equalitynya, bagaimana representasi kuasa serta berbagai macam penekanan kata dan frekuensinya yang dapat dimaknai dalam suatu wacana tertulis.
Di era network society dalam penyampaian aspirasi politik, media tradisional seperti Radio, Televisi ataupun Surat Kabar mulai ditinggalkan karena terlalu exclusive dan hanya mewakili kelompok tertentu. Beralih ke media sosial karena dianggap lebih personal, lebih cepat dan menjangkau khalayak yang sangat luas dengan biaya yang murah. Itu sebabnya Twitter dan media sosial lainnya pasang tarif tinggi untuk pengambilan datanya sebagai bahan dasar analisis komunikasi big data media sosial yang terbukti “manjur” dalam pembacaan saat ini.